Special for Baby...

Saturday, July 19, 2008

Depresi Pasca Melahirkan


Depresi Pasca Melahirkan

Anda pernah mendengar istilah depresi post partum?. Depresi post partum atau depresi pasca melahirkan biasanya dialami oleh para ibu yang baru saja melahirkan bayinya. Gejala depresi melahirkan ini seperti kecemasan, labilitas afek, dapat berlangsung berbulan-bulan. Gejala depresi pasca melahirkan dapat membahayakan ibu dan bayinya

Para wanita butuh penyesuaian dalam menghadapi aktivitas dan peran barunya sebagai ibu pada minggu-minggu atau bulan-bulan pertama setelah melahirkan, baik fisik maupun psikologis. Sebagian wanita berhasil menyesuaikan diri dengan baik, tetapi sebagian lainnya tidak berhasil menyesuaikan diri dan mengalami gangguan-gangguan psikologis dengan berbagai gejala.

Hingga saat ini masih sedikit profesional yang menaruh atensi terhadap masalah ini. Padahal hal ini bisa berpengaruh fatal, yang tidak saja mencelakakan diri si ibu namun juga bisa mencelakakan orang lain, sebagaimana yang pernah dialami oleh Andrea Yates, seorang ibu lulusan SMA, asal Houston Amerika Serikat, ia membunuh kelima anaknya, dengan memasukkan mereka satu-persatu ke dalam bathub. Menurut para ahli, peristiwa tragis tersebut dipicu oleh depresi pasca melahirkan yang dialami Andrea setelah melahirkan anak kelimanya (Adiningsih, 2005). Di Indonesia hal ini juga pernah terjadi pada seorang ibu di kota Bandung Jawa Barat, bernama Aniek Qori’ah Sriwijaya yang berusia 31 tahun, ia lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Planologi dengan IPK lebih dari 3, membunuh 3 anaknya yang berusia 9 bulan sampai 6 tahun dengan cara dibekap menggunakan bantal dan kasur (Shinaga, 2006)

Permasalahan dari gejala ini adalah berupa kontinum yang bergerak dari menangis seharian sampai gejala psikosa (pecahnya pribadi hingga hubungan dengan dunia luar terganggu). Hal ini dapat terjadi karena faktor eksogen dan faktor endogen. Dalam keadaan depresi semacam ini tentunya peran ibu tidak bisa berfungsi dengan baik, dan dapat menimbulkan bahaya terhadap perkembangan anak (Mönks, Knoers & Haditono, 2004: 95)

Di negeri Belanda kurang lebih 1 dari 10 wanita mengalami depresi post partum hingga mengganggu fungsi mereka sebagai isteri dan sebagai ibu. Di Inggris dan Amerika ditemukan adanya hubungan antara intervensi medis pada waktu melahirkan dengan depresi post-partum. Kurang lebih seperempat jumlah ibu yang diteliti di Inggris dan Amerika menderita depresi dalam jangka waktu lama. Termasuk kelompok tinggi juga para ibu yang mengalami persalinan dengan pembedahan. Di Amerika terdapat 35% dari kelompok tersebut yang mengalami depresi berat (Mönks, Knoers & Haditono, ibid: 95-96)

Menurut Jonge-Adriaansen (dalam Mönks, Knoers & Haditono, ibid) menyimpulkan bahwa intervensi teknologi medis yang berlebihan sering menjadi penyebab timbulnya depresi dan rasa tidak berdaya. Sehubungan dengan hal tersebut maka penting kiranya untuk mengusahakan agar proses persalinan dapat berlangsung sewajarnya untuk menjaga stabilitas psikis ibu. Ibu yang secara psikis stabil sangat besar artinya bagi perkembangan anak.

Dalam makalah ini secara garis besar akan diuraikan penyebab, gambaran dan intervensi depresi pasca melahirkan, dengan tujuan agar setiap ibu yang sedang mengandung dan akan melahirkan, mengetahui masalah-masalah psikis yang mungkin terjadi setelah melahirkan, dan jika masalah psikis terjadi dapat ditanggulangi secara adekuat.

Gambaran Depresi Pasca Melahirkan

Sebenarnya masalah depresi pasca melahirkan bukanlah hal baru, karena sejak 460 tahun sebelum Masehi, hal ini sudah mulai dikenal, sebagaimana diungkapkan oleh Hippocrates. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak deskripsi yang terungkap, namun baru pada sekitar tahun 1985-an masalah ini mendapat perhatian. Menurut Ann Dunnewold, seorang ahli jiwa di Dallas Amerika Serikat, 10-20% perempuan yang baru melahirkan mengalami depresi. Muncul dalam beragam bentuk bisa berupa kesedihan mendalam, sering menangis, insomnia (susah tidur) atau tidak dapat tidur nyenyak, mudah tersinggung, kehilangan minat terhadap bayi, kurang berminat terhadap kegiatan rutin sehari-hari. Bisa juga berupa perasaan ketakutan, hilangnya nafsu makan, lesu atau bahkan tidur yang berlebih. Kondisi ini bisa berlangsung hingga tiga sampaii enam bulan, bahkan terkadang sampai delapan bulan. Sayangnya, sangat banyak ibu yang tidak menyadarinya, demikian juga dengan mereka yang ada di sekitarnya, termasuk suaminya (Adiningsih, 2005)
Kondisi yang lebih ringan dari depresi pasca melahirkan, disebut baby blues, yang dialami oleh sekitar 80% dari perempuan yang baru melahirkan. Pada kondisi ini, perempuan tersebut mengalami tanda-tanda sebagaimana pada depresi pasca melahirkan, hanya saja dalam intensitas yang lebih ringan dan dalam rentang waktu yang lebih pendek, paling lama enam minggu. Ia masih bisa tidur nyenyak jika dijauhkan dari kewajiban mengurus bayinya. Berbeda dengan perempuan yang terkena depresi pasca melahirkan, yang tetap saja tidak bisa tidur apalagi bergembira meskipun telah ada orang lain yang membantu merawat bayinya.
Gangguan hormonal menjadi kata kunci dari terjadinya depresi pasca melahirkan maupun baby blues, sebagaimana yang diungkapkan oleh Barbara Parry, Lektor Kepala dari bagian psikiatri Fakultas Kedokteran San Diego, University of California. Menurutnya, kebutuhan hormon estrogen yang meningkat pada calon ibu namun tiba-tiba saja menurun saat melahirkan, akan memberi pengaruh pada depresi biokimia.
Di sisi lain kehamilan meningkatkan hormon endorfin yaitu hormon yang bisa memompa rasa senang. Tetapi saat melahirkan, tingkat endorfin merosot, kondisi ini tentu menambah resiko depresi. Kadang-kadang depresi pasca melahirkan juga disebabkan oleh ketidakstabilan kelenjar tiroid, yang turun ketika melahirkan dan tidak kembali pada jumlah yang normal (Adiningsih, 2005). Kondisi hormon yang fluktuatif inilah yang membuat seorang ibu yang semestinya berbahagia setelah kelahiran bayi mungilnya, namun justru kehilangan perasaan tersebut secara tiba-tiba. Si ibu justru merasakan murung dan sedih. Kondisi ini akan membuat hal-hal dalam keseharian yang biasanya mudah untuk dilakukan berubah menjadi beban yang berat.

Istilah Lain Depresi Pasca Melahirkan

Pengertian lain tentang depresi pasca melahirkan adalah post partum blues. Post partum blues juga sudah dikenal sejak lama. Savage pada tahun 1875 telah menulis referensi di literatur kedokteran mengenai suatu keadaan disforia ringan pasca melahirkan yang disebut sebagai milk fever karena gejala disforia tersebut muncul bersamaan dengan laktasi. Dewasa ini, post-partum blues (PPB) atau sering juga disebut maternity blues atau baby blues dimengerti sebagai suatu sindroma gangguan afek ringan yang sering tampak dalam minggu pertama setelah persalinan, dan ditandai dengan gejala-gejala seperti: reaksi depresi/sedih/disforia, menangis, mudah tersinggung (iritabilitas), cemas, labilitas perasaan, cenderung menyalahkan diri sendiri, gangguan tidur dan gangguan nafsu makan. Gejala-gejala ini mulai muncul setelah persalinan dan pada umumnya akan menghilang dalam waktu antara beberapa jam sampai beberapa hari. Namun pada beberapa minggu atau bulan kemudian, bahkan dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih berat (Iskandar, 2005).

Post partum blues ini dikategorikan sebagai sindroma gangguan mental yang ringan oleh sebab itu sering tidak dipedulikan sehingga tidak terdiagnosis dan tidak ditangani dengan baik, akhirnya dapat menjadi masalah yang menyulitkan, tidak menyenangkan dan dapat membuat perasaan tidak nyaman bagi wanita yang mengalaminya, dan bahkan kadang-kadang gangguan ini dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih berat yaitu depresi dan psikosis pasca melahirkan, yang mempunyai dampak lebih buruk, terutama dalam masalah hubungan perkawinan dengan suami dan perkembangan anaknya.

Dalam dekade terakhir ini, banyak ahli yang memberi perhatian khusus pada gejala psikologis yang menyertai seorang wanita pasca melahirkan, dan telah melaporkan beberapa angka kejadian dan berbagai faktor yang diduga mempunyai kaitan dengan gejala-gejala tersebut. Berbagai studi mengenai post-partum blues di luar negeri melaporkan angka kejadian yang cukup tinggi dan sangat bervariasi antara 26-85%, yang kemungkinan disebabkan karena adanya perbedaan populasi dan kriteria diagnosis yang digunakan.

Penyebab

Menurut Iskandar (2005), banyak faktor diduga berperan sebagai penyebab depresi pasca melahirkan antara lain adalah: (1) Faktor hormonal, berupa perubahan kadar estrogen, progesteron, prolaktin dan estriol yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Kadar estrogen turun secara bermakna setelah melahirkan, ternyata estrogen memiliki efek supresi aktifitas enzim monoamine oksidase, yaitu suatu enzim otak yang bekerja menginaktifasi baik noradrenalin maupun serotonin yang berperan dalam suasana hati dan kejadian depresi, (2) Faktor demografik yaitu umur dan paritas, (3) Pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan, (4) Latar belakang psikososial wanita yang bersangkutan, seperti: tingkat pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan, riwayat gangguan kejiwaan sebelumnya, sosial ekonomi serta dukungan sosial dari lingkungannya (suami, keluarga dan teman). Apakah suami menginginkan juga kehamilan ini, apakah suami, keluarga, dan teman memberi dukungan moril (misalnya dengan membantu pekerjaan rumah tangga, atau berperan sebagai tempat ibu mengadu/berkeluh-kesah) selama ibu menjalani masa kehamilannya.

Intervensi

Di luar negeri skrining untuk mendeteksi gangguan mood/depresi sudah merupakan acuan pelayanan pasca persalinan yang rutin dilakukan. Untuk skrining ini dapat dipergunakan beberapa kuesioner dengan sebagai alat bantu. Endinburgh Posnatal Depression Scale (EPDS) merupakan kuesioner dengan validitas yang teruji yang dapat mengukur intensitas perubahan perasaan depresi selama 7 hari pasca persalinan. Pertanyaan-pertanyaannya berhubungan dengan labilitas perasaan, kecemasan, perasaan bersalah serta mencakup hal-hal lain yang terdapat pada post-partum blues. Kuesioner ini terdiri dari 10 (sepuluh) pertanyaan, di mana setiap pertanyaan memiliki 4 (empat) pilihan jawaban yang mempunyai nilai skor dan harus dipilih satu sesuai dengan gradasi perasaan yang dirasakan ibu pasca persalinan saat itu. Pertanyaan harus dijawab sendiri oleh ibu dan rata-rata dapat diselesaikan dalam waktu 5 menit. Cox et. al., mendapati bahwa nilai skoring lebih besar dari 12 (dua belas) memiliki sensitifitas 86% dan nilai prediksi positif 73% untuk mendiagnosis kejadian post-partum blues . EPDS juga telah teruji validitasnya di beberapa negara seperti Belanda, Swedia, Australia, Italia, dan Indonesia. EPDS dapat dipergunakan dalam minggu pertama pasca persalinan dan bila hasilnya meragukan dapat diulangi pengisiannya 2 (dua) minggu kemudian (Iskandar, 2005).

Post-partum blues atau gangguan mental pasca persalinan seringkali terabaikan dan tidak ditangani dengan baik. Banyak ibu yang ‘ berjuang ‘ sendiri pada beberapa saat setelah melahirkan. Mereka merasakan ada suatu hal yang salah namun mereka sendiri tidak benar-benar mengetahui apa yang sedang terjadi. Apabila mereka pergi mengunjungi dokter atau profesional lainnya. Untuk meminta bantuan, seringkali hanya mendapatkan saran untuk beristirahat atau tidur lebih banyak, tidak gelisah, minum obat atau berhenti mengasihani diri sendiri dan mulai merasa gembira menyambut kedatangan bayi yang mereka cintai.

Penanganan gangguan mental pasca melahirkan pada prinsipnya tidak berbeda dengan penanganan gangguan mental pada momen-momen lainya. Para ibu yang mengalami post-partum blues atau depresi pasca melahirkan membutuhkan bantuan. Para ibu ini membutuhkan dukungan psikologis seperti juga kebutuhan fisik lainnya yang harus juga dipenuhi. Mereka membutuhkan kesempatan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dari situasi yang menakutkan. Mungkin juga mereka membutuhkan pengobatan dan/atau istirahat, dan seringkali akan merasa gembira mendapat pertolongan yang praktis. Dengan bantuan dari teman dan keluarga, mereka mungkin perlu untuk mengatur atau menata kembali kegiatan rutin sehari-hari, atau mungkin menghilangkan beberapa kegiatan, disesuaikan dengan konsep mereka tentang keibuan dan perawatan bayi. Bila memang diperlukan, dapat diberikan bantuan dari para ahli, misalnya dari seorang psikolog atau konselor yang berpengalaman dalam bidang tersebut.

Para ahli obstetri memegang peranan penting untuk mempersiapkan para wanita untuk kemungkinan terjadinya gangguan mental pasca melahirkan dan segera memberikan penanganan yang tepat bila terjadi gangguan tersebut, bahkan merujuk pada psikolog/konselor bila memang diperlukan. Dukungan yang memadai dari para petugas obstetri, yaitu: dokter dan bidan/perawat sangat diperlukan, misalnya dengan cara memberikan informasi yang memadai/adekuat tentang proses kehamilan dan persalinan, termasuk hambatan-hambatan yang mungkin timbul dalam masa-masa tersebut serta penanganannya.

Dibutuhkan pendekatan menyeluruh/holistik dalam penanganan para ibu yang mengalami post-partum blues atau depresi pasca melahirkan. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa dibutuhkan penanganan di tingkat perilaku, emosional, intelektual, sosial dan psikologis secara bersama-sama, dengan melibatkan lingkungannya, yaitu: suami, keluarga dan juga teman dekatnya..

Depresi pasca melahirkan dengan beragam faktor penyebabnya dapat dialami oleh semua ibu dimanapun ia berada, tanpa memandang status ekonomi, usia, ataupun tingkat pendidikan. Ibu yang mengalami depresi pasca melahirkan harus ditangani secara adekuat, karena peran ibu sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak juga dalam hubungannya dengan peran ibu di keluarga. Untuk itu seorang ibu yang berada dalam kondisi pasca melahirkan perlu mendapat dukungan dari orang-orang yang ada di sekitarnya.

No comments:


Sharing & Solution for your Children's Problem...

A Tribute to BSD City

A Tribute to BSD City
Khusus Warga BSD City

Info & Consultation

www.konsultasianak.tk

Special Need Children

Special Need Children
Only for Special Mother...